Seperti
Ma’ruf An Nakh’i
“Ya
Allah ya Tuhanku, sebagimana Engkau bahagiakan mereka di dunia, aku memintaMu
agar Engkau membahagiakan mereka di akhirat.” (Ma’ruf An Nakh’i)
Semoga Allah senantiasa
menghimpun kita dalam dekapan kasih sayang-Nya, saudaraku. Segala puji hanya
milik Allah swt yang telah meletakkan hati dan langkah kita dalam kebersamaan
di jalan ini.
Saudaraku,
Biarlah, banyak yang mengira menapaki jalan ini,
jalan para Nabi, jalan orang-orang shalih, jalan para syuhada, jalan para
pejuang dakwah, adalah beban yang sangat berat. Berat, karena harus banyak
bertabrakan dengan kondisi yang berbenturan dengan keinginan. Berat karena
selalu bersinggungan dengan realitas yang tidak sejalan dengan harapan. Berat
karena melihat betapa kemungkaran begitu merajalela. Berat karena harus terus
menerus berjalan melawan arus yang berbeda dengan kebanyakan orang.
Biarlah orang menyangka seperti itu. Karena sebenarnya kita justru
merasakan kebalikannya. Kenikmatan, ketenangan, kebersahajaan, yang tidak bisa
dibayar oleh apapun. Karena kita justru merasakan pengorbanan itu sebagai
sumber kebahagiaan.karena kita justru merasakan jerih payah dan kesulitan di
jalan ini, sebagai kunci ketenangan hati. Karena kita justru merasakan peluh
dan darah di jalan ini, adalah syarat meraih kesenangan.
Saudaraku,
Berada di sini, memang harus tidak dirasakan sebagai beban berat.
Tengoklah sedikit lembaran hidup pemimpin kita, Rasulullah saw yang nyaris
wajahnya tak pernah lepas dari air muka yang cerah dan banyak tersenyum. Justru
dengan senyuman itulah, Rasulullah saw mampu memberi pengaruh luar biasa pada
para sahabat untuk turut berjumpa bersamanya. Sebuah senyuman, yang tak
membutuhkan waktu lebih dari sekedar kedipan mata. Tapi kesan sebuah senyum
bisa membekas hingga ujung usia, begitu yang dikatakan Syaikh jasim Muhalhil,
seorang ulama da’wah terkenal di Kuwait. Senyum menandakan ketenangan dan
kebahagiaan.
Jarir bin Abdullah ra pernah mengatakan, “Tak ada lagi yang membatasi
antara diriku dan Rasulullah sejak aku memeluk Islam. Dan setiap kali ia
melihatku, ia selalu tersenyum padaku” (Mutafaq alaih). Sahabat yang lain
Abdullah bin Harist ra, juga mengatakan bahwa ia tak pernah menjumpai orang
yang palin banyak tersenyum kecuali Rasulullah saw.
Renungkanlah saudaraku, Bagaimana cara Rasulullah merajut kuat
persahabatan dan persaudaraan iman itu dengan air muka yang cerah dan seulas
senyum. Perhatikanlah bagaimana pengaruh sebuah senyuman yang bisa menyusup ke
dalam hati para sahabat ra. Dan lihatlah bagaimana beliau melewati hari-hari
mengemban amanah da’wah dan menegakkan kalimat tauhid, dengan
senyuman-senyumannya itu.
Saudaraku,
Rasulullah saw telah mendapat cinta Allah swt, sehingga ia menjadi
lebih tenang dalam melakukan tugas-tugas kenabianNya. Cinta Allah lah yang menjadikan
berbagai kesulitan menjadi mudah. Cinta Allah lah yang memberi kesenangan dalam
kesempitan. Cinta Allah juga yang menumbuhkan harapan dalam ketidakberdayaan.
Rasulullah saw bersabda,”Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Ia akan
menyeru kepada Jibril, “Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia.”Maka orang
itu dicintai Jibril dan Jibril menyeru kepada penghuni langit, “Sesungguhnya
Allah mencintai si fulan maka cintailah dia, “Maka penduduk langitpun mencintai
orang itu. Kemudian, kecintaat itu pun diterima di bumi. (Mutafaq Alaih).
Saudaraku, mari berjalan di sini dengan lapang hati dan kegembiraan.
Sikapi semua keadaan dengan pandangan yang bersih dan penuh harapan. Kita perlu
meniru sikap Ma’ruf An Nakh’i seorang ulama generasi tabi’in yang terkenal
zuhud dan ahli ibadah. Diriwayatkan, suatu hari ia bersama para sahabatnya
duduk di tepi sungai di kota Baghdad. Tiba-tiba ada sekelompok pemuda yang
datang bergerombol sambil memukul-mukul alat musik dan meminum minuman keras.
Para sahabatnya berkata, “Tidakkah engkau lihat mereka bermaksiat pada
Allah dengan air itu, maka do’akanlah atas mereka.” Ma’ruf An Nakh’i lalu
mengangkat tangnnya dan berdoa, “Ya Allah ya Tuhanku, sebagimana Engkau
bahagiakan mereka di dunia, aku memintaMu agar Engkau membahagiakan mereka di
akhirat.” Para sahabatnya terheran dan mengatakan bahwa yang mereka minta
adalah agar mendoakan keburukan atas mereka. Apa jawab Ma’ruf An Nakh’i? “Jika
Allah membahagiakan mereka di akhirat dan menerima taubat mereka di dunia,
apakah itu merugikanmu?”
Kemungkaran memang banyak. Kezaliman memang merajalela. Kita bisa saja
terdorong untuk berdoa keburukan kepada mereka yang melakukan perusakan. Kita
juga bisa saja terpancing untuk mengeluarkan kata-kata kotor, kasar dan keras
kepada para pelanggar hukum-hukum Allah dan menzalimi banyak orang. Tapi, kita
membutuhkan orang-orang yang tidak mudah mengeluarkan kecaman kasar, omongan
keras dan caci maki yang sebenarnya juga tidak berguna apa-apa untuk merubah
kemungkaran dan kezaliman itu.
Kita membutuhkan orang-orang seperti Ma’ruf An Nakh’i.
Muhammad Nursani dalam “Berjuang
di Dunia Berharap Pertemuan di Surga”
inspiratif
BalasHapusyupz, semoga bisa menginspirasi kita semua ^_^
BalasHapus