Pengalaman Guru Terbaik Dalam Hidup

Pengalaman Guru Terbaik Dalam Hidup
Tetap senyum, Selalu tersenyum

Selasa, 11 Desember 2012

Seperti Ma’ruf An Nakh’i


Seperti Ma’ruf An Nakh’i

“Ya Allah ya Tuhanku, sebagimana Engkau bahagiakan mereka di dunia, aku memintaMu agar Engkau membahagiakan mereka di akhirat.” (Ma’ruf An Nakh’i)
Semoga Allah senantiasa menghimpun kita dalam dekapan kasih sayang-Nya, saudaraku. Segala puji hanya milik Allah swt yang telah meletakkan hati dan langkah kita dalam kebersamaan di jalan ini.
Saudaraku,
Biarlah, banyak yang mengira menapaki jalan ini, jalan para Nabi, jalan orang-orang shalih, jalan para syuhada, jalan para pejuang dakwah, adalah beban yang sangat berat. Berat, karena harus banyak bertabrakan dengan kondisi yang berbenturan dengan keinginan. Berat karena selalu bersinggungan dengan realitas yang tidak sejalan dengan harapan. Berat karena melihat betapa kemungkaran begitu merajalela. Berat karena harus terus menerus berjalan melawan arus yang berbeda dengan kebanyakan orang.
Biarlah orang menyangka seperti itu. Karena sebenarnya kita justru merasakan kebalikannya. Kenikmatan, ketenangan, kebersahajaan, yang tidak bisa dibayar oleh apapun. Karena kita justru merasakan pengorbanan itu sebagai sumber kebahagiaan.karena kita justru merasakan jerih payah dan kesulitan di jalan ini, sebagai kunci ketenangan hati. Karena kita justru merasakan peluh dan darah di jalan ini, adalah syarat meraih kesenangan.
Saudaraku,
Berada di sini, memang harus tidak dirasakan sebagai beban berat. Tengoklah sedikit lembaran hidup pemimpin kita, Rasulullah saw yang nyaris wajahnya tak pernah lepas dari air muka yang cerah dan banyak tersenyum. Justru dengan senyuman itulah, Rasulullah saw mampu memberi pengaruh luar biasa pada para sahabat untuk turut berjumpa bersamanya. Sebuah senyuman, yang tak membutuhkan waktu lebih dari sekedar kedipan mata. Tapi kesan sebuah senyum bisa membekas hingga ujung usia, begitu yang dikatakan Syaikh jasim Muhalhil, seorang ulama da’wah terkenal di Kuwait. Senyum menandakan ketenangan dan kebahagiaan.
Jarir bin Abdullah ra pernah mengatakan, “Tak ada lagi yang membatasi antara diriku dan Rasulullah sejak aku memeluk Islam. Dan setiap kali ia melihatku, ia selalu tersenyum padaku” (Mutafaq alaih). Sahabat yang lain Abdullah bin Harist ra, juga mengatakan bahwa ia tak pernah menjumpai orang yang palin banyak tersenyum kecuali Rasulullah saw.
Renungkanlah saudaraku, Bagaimana cara Rasulullah merajut kuat persahabatan dan persaudaraan iman itu dengan air muka yang cerah dan seulas senyum. Perhatikanlah bagaimana pengaruh sebuah senyuman yang bisa menyusup ke dalam hati para sahabat ra. Dan lihatlah bagaimana beliau melewati hari-hari mengemban amanah da’wah dan menegakkan kalimat tauhid, dengan senyuman-senyumannya itu.
Saudaraku,
Rasulullah saw telah mendapat cinta Allah swt, sehingga ia menjadi lebih tenang dalam melakukan tugas-tugas kenabianNya. Cinta Allah lah yang menjadikan berbagai kesulitan menjadi mudah. Cinta Allah lah yang memberi kesenangan dalam kesempitan. Cinta Allah juga yang menumbuhkan harapan dalam ketidakberdayaan. Rasulullah saw bersabda,”Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Ia akan menyeru kepada Jibril, “Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia.”Maka orang itu dicintai Jibril dan Jibril menyeru kepada penghuni langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan maka cintailah dia, “Maka penduduk langitpun mencintai orang itu. Kemudian, kecintaat itu pun diterima di bumi. (Mutafaq Alaih).
Saudaraku, mari berjalan di sini dengan lapang hati dan kegembiraan. Sikapi semua keadaan dengan pandangan yang bersih dan penuh harapan. Kita perlu meniru sikap Ma’ruf An Nakh’i seorang ulama generasi tabi’in yang terkenal zuhud dan ahli ibadah. Diriwayatkan, suatu hari ia bersama para sahabatnya duduk di tepi sungai di kota Baghdad. Tiba-tiba ada sekelompok pemuda yang datang bergerombol sambil memukul-mukul alat musik dan meminum minuman keras.
Para sahabatnya berkata, “Tidakkah engkau lihat mereka bermaksiat pada Allah dengan air itu, maka do’akanlah atas mereka.” Ma’ruf An Nakh’i lalu mengangkat tangnnya dan berdoa, “Ya Allah ya Tuhanku, sebagimana Engkau bahagiakan mereka di dunia, aku memintaMu agar Engkau membahagiakan mereka di akhirat.” Para sahabatnya terheran dan mengatakan bahwa yang mereka minta adalah agar mendoakan keburukan atas mereka. Apa jawab Ma’ruf An Nakh’i? “Jika Allah membahagiakan mereka di akhirat dan menerima taubat mereka di dunia, apakah itu merugikanmu?”
Kemungkaran memang banyak. Kezaliman memang merajalela. Kita bisa saja terdorong untuk berdoa keburukan kepada mereka yang melakukan perusakan. Kita juga bisa saja terpancing untuk mengeluarkan kata-kata kotor, kasar dan keras kepada para pelanggar hukum-hukum Allah dan menzalimi banyak orang. Tapi, kita membutuhkan orang-orang yang tidak mudah mengeluarkan kecaman kasar, omongan keras dan caci maki yang sebenarnya juga tidak berguna apa-apa untuk merubah kemungkaran dan kezaliman itu.
Kita membutuhkan orang-orang seperti Ma’ruf An Nakh’i.
Muhammad Nursani dalam “Berjuang di Dunia Berharap Pertemuan di Surga”

2 komentar: